Uneg-uneg Seputar Tantangan Clinical Placement


Blog lama hampir ilang …, lupa username dan password lebih tepatnya, but anyway lanjut aja nerocosnya lewat hantaman keyboards. Kali ini saya pengen curhat tentang senepnya kuliah dibidang kesehatan di negara berbahasa non Indonesia. Suara batin “padahal postingan sebelumnya janji mau lanjut cerita tentang Hobart”

Tersebutlah kisah si Dalijo (Joe) dan Sumiarsih (Mia), dua orang mahasiswa fakultas ilmu medik di Ibukota Negeri Kanguru, Canberra. Dua orang anak muda berlogat jawa medok tapi ngehitz ini sedang menjalani kuliah yang sempat membuat keduanya stress dan mendekati ambang bawah depresi. Kenapa depresi ? berikut kronologinya*jeng jeng jeeet!*.

picture retrieved from http://www.mayfield.edu.au/html/allied.html
Joe duluan sampai di Canberra, selang satu semester sebelum Mia. Mereka mengambil jurusan yang berbeda meski dibawah naungan fakultas yang sama, di University Of Canberra, sebuah kampus kenamaan di Belconnen Canberra. Mengapa kampus ini sedemikian tenarnya ? karena di Belconnen cuma memiliki satu universitas dengan populasi penghuni yang didominasi oleh kanguru, burung gagak, kanguru, opossum, kanguru lagi, kelinci dan baru manusia dirantai terbawah berdasarkan skala jumlah.

Kembali ke kuliahnya si Joe dan Mia, sebagai kakak kelas yang baik Joe wanti-wanti ke Mia kalau kuliah di fakultas ilmu medik lumayan bisa bikin ayan mendadak disebabkan oleh beban penilaian atau assignment yang berbeda dengan fakultas lain. Assignment pada umumnya adalah menulis essays, presentasi dan pada akhir semester ditutup dengan hamdalah …, ujian dink (ini kampus sekuler kak bukan majelis tahlilan). Khusus untuk fakultas medik dan ilmu kesehatan, beban penilaian ditambah dengan ujian praktek dan magang klinik yang digradasi berdasarkan seberapa besar provision (panduan) dari supervisor klinis … nah mulai gak donk kan ? apalagi si Joe dan Mia yang biasa ngisi sesi penyuluhan di Posyandu dan pengajian PKK tingkat RW, tantangan seperti ini membuat mereka deg-degan tiada tara sampai pada lupa nyari pacar bule bule Ostrali atau londo-londo Sierra Leone #terseliptsurhat.

Jadi, setelah Joe menyampaikan wejangan kepada Mia tentang the upcoming challenges ini si Joe berharap si Mia tidak felling down dengan susahnya menjalani perkuliahan. Tetapi diluar dugaan, si Mia malah woles akut dan cuma mesam mesem seperti biasa waktu digebet kernet bus Atmo jurusan Pasar Gede Solo. No wonder, saat itu si Mia belum tahu kalau malapetaka was about to come.

Singkat cerita, tibalah musim ujian semester, semua lancar tanpa kendala. Mia doank sih yang lancar karena pada dasarnya doi rajin nan cerdas, beda dengan Joe yang selalu kedel-kedel karena senantiasa menerapkan jurus kebut semalem. Musim ujian semester selesai, liburan tiba, sobat sobat muda Indonesia mulai bergantian mudik satu persatu mencari kehangatan negeri tropis … (dasar kalian para para yang haus kehangatan, saya iri tahu!). Joe dan Mia masih kekeuh tinggal didinginnya Canberra demi memenuhi jam praktek sebagai prasyarat kuliah dan pra registrasi profesi di Australia.

Dan kemudian drama dimulai, Mia yang biasa ceria nan war wor ini mendadak jadi pendiam dan lebih sering mengingis prembik-prembik. Usut punya usut ternyata Mia sedang mengalami krisis identitas karena merasa inkompeten dan tidak donk dengan komunikasi yang dijalin dengan para pasiennya. Mia praktek di pesisir selatan New South Wales dengan mayoritas pasien orang-orang Indigenous Australia  atau suku Aborigin. Dia stress dan mulai depresi dengan usahanya mencerna aksen kental OZ yang diperumit dengan budaya unik orang Indigenous. Sementara itu, Joe memiliki pengalaman yang hampir sama disemester sebelumnnya saat harus memulai praktek di Rumah Rawat Lansia. Gagap aksen dan kemampuan lafal verbal yang mulai menurun pada para lansia sempat membuat Joe berpikir untuk pindah jurusan ke Sound System Engineering seperti mantannya Zaskia Gothic. But overall, justru dengan paparan terhadap situasi yang sulit pitik seperti ini  membuat kemampuan berinteraksi dengan local people meningkat, setidaknya si Joe sudah tidak pernah merah padam lagi daun telinganya saat berbincang-bincang dengan local OZ.

Jadi pesan si Joe buat Mia, serta calon Joe dan Mia lainnya di masa datang, silahkan stress tapi jangan tenggelam banget-banget dalam stress, latihan dan belajar memang seringkali pahit tapi pasti kelak akan sangat berguna dan memberikan bekas yang tak terlupakan, bisa jadi bahan cerita untuk generasi mendatang. Sama halnya seperti cinta, sering patah atau remuk hati karena cinta yang belangsak tapi mau tak mau kita musti move on dan lanjut menikmati indahnya dunia to ? siapa tahu jodoh yang lebih baik lagi duduk manis disuatu tempat diluar sana menunggu kita untuk nyende-nyender manja di bahunya … aw aw aw.

Canberra, 16 July 2014

Comments