Hobart, seupil surga di Tasmania


Alhamdulilah bisa kembali nge-blog lagi setelah hibernasi untuk beberapa waktu ditambah dengan kesulitan kecil untuk mengakses blog karena akun email alamat blog ini rupa-rupanya diaktivasi dari tempat yang berbeda, butuh waktu untuk memecahkan teka-teki ini sama halnya butuh waktu juga untuk move on yang paripurna bukan ? #eeaaa ! #gagalfokus.


Memasuki Hobart, dari dalam Metro nampak jembatan Tasman Hwy
Setelah menjalani diet ketat dengan asupan empat unit mata kuliah disemester pertama ini, tibalah waktunya untuk break dan mendinginkan otak. Sebelum Natal memang sudah direncanakan untuk mengambil “getaway” sekitar semingguan, cukup untuk menenangkan otak dan badan yang hampir ayan oleh tumpukan beban perkuliahan. Tiga hari sebelum tanggal 11 Desember saya mengunjungi Sydney (lagi) untuk kembali kelayaban bersama ditempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Detail mengenai tempat-tempat “awesome” baru di Sydney ini mungkin akan saya ceritakan di babak lain dalam buku hidup saya selanjutnya #eeaaa!. Fokus tulisan kali ini adalah tentang Hobart, kota metropolitan yang mengklaim dirinya sendiri sebagai “a pocket size metropolitan” narsis tapi humble, tapi ya bener juga sih, Hobart ini kecil tak lebih besar dari salah satu suburb di Canberra, segede Belconnen barangkali tetapi kontur datarannya selintas mirip dengan Goulburn di NSW (sebelas dua belas dengan Kecamatan Karangpandan di Kabupaten Karanganyar sana … oke ini garing).

Lama kunjungan ke Hobart kemarin adalah lima hari, kelamaen ya ? iya, saya pikir juga bakal kelamaen karena bakal kelayabannya di situ-situ saja, maklum kotanya cuma segede upil Gaban (apa itu Gaban ? Tanya saja buapakmu sana). Tiba pada tanggal 11 Desember 2013 di Hobart International Airport saat hari menjelang senja. Apa yang terlintas di benak waktu itu adalah “duh Gusti ini kok seperti in the middle of nowhere … senyap dan saking senyapnya bahkan suara kentut jangkrikpun bisa terdengar jelas, cuma gak bau saja, iya jangkrik kan kecil … kentutnya pasti gak sebau kentut orang yang kelar makan sebakul ubi cilembu kan ?” (malah bahas kentut !!! ini Hobart yang elok ouy !!!). Uni (temen sekelas saya dari Jakarta) bilang dari bandara ke kota bisa ditempuh dengan menggunakan armada Airporter, dengan membayar $30 kita bisa mendapatkan tiket return, itu artinya kita diantar ke shuttle bus terdekat dengan alamat dan saat pulang nanti juga akan dijemput dari shuttle bus tersebut, jadi untuk sekali jalan menggunakan Airpoter ini tariffnya hanya $15 dan tidak harus membelinya secara paket return atau bolak-balik.

Uni Sari, host sekaligus guide semua anak-anak ADS yang mengunjungi Hobart
Hari kedua, saya dan dua orang teman lagi dari Melbourne langsung dibawa Uni ke Maria Island, sebuah pulau di pesisir timur Tasmania. Maria Island memiliki empat jalur tracking yang bisa dijelajahi oleh pengunjung yakni jalur Painted Cliff, jalur reservoir ditengah hutan, jalur Fossil Cliff dan jalur pendakian ke puncak Bishop and Clerk. Total estimasi waktu yang diperlukan untuk menjelajahi ketiga jalur ini kurang lebih lima jam (ente bisa potret-potret selfie sampe nungging sepuasnya karena pemandangan sepanjang jalur tracking disini sangat breathtaking). Di sini udara sangat bersih dan wildlife yang sangat terjaga, sepanjang perjalanan kami sempat bertemu dengan Wombat (sempat dikira seonggok kayu mati karena warna bulunya yang kumal tersamar sempurna dengan lingkungan hutan), Echidna yang imut tapi pedih kalau dipegang karena durinya subur kayak kumis pak raden dan seekor lagi hewan tanpa identitas yang jelas, yang melompat-lompat secara misterius di rerimbunan tumbuhan paku setinggi dada orang dewasa, kalau bingung setinggi apa bayangin aja dada nikita mirz*n* di pilem Comic 8 yang der der der itu #kaplokpakesendal, bisa jadi hewan misterius tersebut adalah Wallabi yang melompat-lompat ala pocong atau bisa juga harimau Tasmania (sejak kapan harimau loncat-loncat !) atau bisa juga kemarin itu adalah sosok mantan yang ke “gep” sedang mengintip dari balik rerimbunan semak-semak tumbuhan paku #mantanminded. Yasudahlah, back to trail, track pertama yang kami telusuri adalah Painted Cliff yakni susunan tebing berwarna kuning dan orange cerah di bibir pantai Maria Island, dilanjutkan dengan track kedua menuju Fossil Cliff, sayang sekali waktu tidak cukup untuk melanjutkan tracking ke reservoir yang berada ditengah hutan karena ferry jemputan akan menghampiri kami satu jam lagi waktu itu. Mayoritas track didominasi oleh hutan eucalyptus dan semak-semak paku, mendekati tebing curam yang bersebelahan dengan situs Fossil Cliff, Sabana dan Stepa menghampar dengan sangat WOW ! and one more thing, ada artikel yang menyebutkan bahwa udara di Maria Island adalah salah satu pasokan udara terbersih di planet Bumi (yakeleus, wong yang hidup disana cuma wombat, wallaby, landak dan soang … tidak ada perkampungan penduduk apalagi pasar Kliwonan, gak ada banget pokoknya).
Landscape yang awesome menuju Painted Cliff
Salah satu sudut Painted Cliff ... eerrrgh, selfie detected, shame on me
Tebing curam dipersimpangan menuju Fossil Cliff dan puncak Bishop and Clerk, forbidden untuk dikunjungi insan-insan yang sedang patah hati, loncat-able bingiit cyyyin ! 

di Hobart Quart Waterfront
Hari kedua dilewatken ala-ala naked traveler, tanpa panduan langsung dari uni kami sepakat untuk mengunjungi Mount Nelson yang terletak tepat dibelakang kampus University of Tasmania (UTas).  Dengan mengandalkan panduan dari google maps kami beranjak dari kampus UTas menuju ke Hobart Quarter Waterfront, salah satu dermaga cantik di Hobart yang jika beruntung, sembari galau dan kecipak air yang kita mainkan disela-sela jari-jemari kaki, kita mungkin akan didatangi oleh rombongan lumba-lumba yang berlompatan di River Derwent (laah, dolphins kok gentayangan disungai ? itu dolphin apa pesut ?). Berhubung hari Jumat, menjelang pukul satu siang kami dijemput oleh teman dari Malaysia untuk kemudian sembahyang Jumat di Masjid Jami’ Hobart (kata “Jami’” nya saya tambahi sendiri). Oh iya, selama di Hobart, kami ditemani oleh teman-teman mahasiswa dari Malaysia, dan selama itu pula tidak ada insiden rebutan reog atau klaim temuan es  cendol sebagai national herritage rumpun melayu, in fact mereka dan satu lagi teman dari Singapore sangat curious dengan kebudayaan etnik Indonesia, Jawa misalnya … #eheeem, kebetulan satu dari tiga tamu mereka ini adalah “priyayi dari Sala”, eh bukan dink, saya ini #jancuker dari Sala lebih tepatnya. Selepas sembahyang Jumat, masih bertiga makan siang di restoran “Little India” (selama di Hobart kami makan di dua resto Asia, satu lagi namanya adalah “Chatter Box”), dua resto ini terletak di North Hobart dan recommended bagi temen-temen lain yang prefer makanan asia selama mengunjungi Hobart, endues dan mak nyuzz. Dari North Hobart ke puncak  Mount Nelson dapat ditempuh dengan Metro (bus kota, kota Hobart bukan Kota Lebak Bulus kerena tidak ada nama mini setelah metro). Berbekal aplikasi Gmaps, jalur pendakian ke Mt Nelson Nampak berkelok-kelok, bisa jadi bikin mabok, beruntung pemandangan sepanjang jalan yang lagi-lagi membuat capek untuk dipuji mengalihkan duniaku, #eh mabok ku. Dengan segenap pede sebesar rasa cinta yang meluap-luap seperti kala jatruh cinta, saya menginstruksiken daripada rombongan untuk jump off dari bus, dan ternyata GMaps-nya yang mabok, stopping point yang disarankan GMaps adalah situs convenient store, alias warung semacem indom*r*t … kampreeet !!, untuk apa juga tourists dari Melbourne dan Canberra ini mengunjungi warung serba ada di Mt. Nelson (banting hape, tapi gak jadi, plan belom lunas). Tetapi, daripada tengsin nyasar saya memutuskan untuk menghampiri mas-mas yang lagi asik merokok di pojok parkiran convenient store tersebut, tanpa diduga dan dinyana-nyana *jeng jeng jeng jeeet!* mas-mas tersebut menawari kami untuk diantar sampai puncak Mt. Nelson, WOW … bener kata mbakyuku yang di Adelaide dan klaim dari uni, orang Hobart ini ramah-ramah. Ngemeng-ngemeng, nama mas mas itu adalah Michael, dia asli Perth sekarang tinggal di Mt. Nelson dan pernah hidup di Bali !!… aaaah disaat beginilah, saya kembali ingat wejangan Kiai Jancux Sudjiwo Tedjo, sejatinya Tuhan itu Maha Asyik karena itu coincident ini pasti bagian dari konspirasi maha besar bernama Semesta. Back to trail, lagi-lagi puncak Mt. Nelson ini sangat awesome dan sangat cocok untuk bengong tanpa sebab yang jelas seperti saya, atau kumat galau dengan mendendengkan lagu-lagu patah hati ala temen ahli bahasa dari Melbourne, TM …. Atau juga molor seperti cewe anak tehnik dari Melbourne Uni, Molly. Menjelang senja kami meninggalkan Mt. Nelson dan janjian bertemu dengan uni di Franklin Square,ada dua cara untuk meninggalkan Signaling Point puncak Nelson yakni dengan menelusuri track semak Truganini yang menurun selama satu setengah jam kearah UTas atau menunggu jadual Metro terdekat. Sesampainya di Franklin Square, pengunjung akan disuguhi dengan seuprit taman kota yang amazing dengan water fountain lengkap dengan wish pond yang dipenuhi koin-koin tumbal harapan serta bidak catur raksasa yang boleh dimainkan oleh siapapun, inget ini bidak catur ya, bukan hati … jadi boyeeh dimain-mainin. In short, Franklin Square tsakeup sekali untuk hangout sore bersama teman sembari menunggu senja datang … or you can even make wishes di water fountainnya.
Landscape dari Signaling Point of Mt. Nelson
Dah, lanjut nanti ceritanya di seksyen kedua (kalau ada krenteg di hati) …

Comments