#backpackHORE Taman Nasional Bromo Tengger Semeru



Gunung Bromo, “a must visit place before you die” kata beberapa pelancong. Dan begitulah perjalanan ke Gunung Bromo ala-ala #backpackHORE beberapa waktu lalu saya lakukan dengan nawaitu yang menggebu-gebu.  Perjalanan dengan model backpack memberikan tantangan tersendiri karena berazaskan pada prinsip murce nan waah #ini sepenuhnya alibi untuk menutupi fakta bahwa saya terlalu sayang menghambur-hamburkan uang ala suite #kere ngeles.


Desain perjalanan ke Bromo ini dimulai dari Solo dengan menggunakan jalur dan rute yang berbeda antara perjalanan berangkat versus pulangnya, waktu perjalanan diputuskan pada weekend Tanggal 15 – 17 Maret 2013. Keberangkatan mengambil rute Solo – Malang – Probolinggo – Desa Cemoro Lawang (Gunung Bromo), sedangkan rute pulang menggunakan jalur Probolinggo – Surabaya – Solo. Perjalanan Solo – Malang kami tempuh menggunakan kereta Api Malioboro Ekpress yang berangkat dari Stasiun Solo Balapan pukul 21.50 WIB dan tiba di Stasiun Kota Malang pada pukul  03.50 WIB. Kami merencanakan untuk sampai di Probolinggo sekitar pukul 10.00 WIB karena itulah sembari menunggu bus yang berangkat pukul 08.00 WIB dari Terminal Arjosari Malang, jeda waktu antara bakda subuh hingga keberangkatan kami lewatkan dengan menikmati suasana pagi yang segar di Kota Malang. Dengan hanya berjalan kaki tak sampai tujuh menit dari Stasiun Kereta, kami sampai di alun-alun Kota Malang.

Balai Kota Malang


Perjalanan dari Malang menuju Probolinggo memakan waktu tempuh sekitar dua setengah atau tiga jam hingga akhirnya kami sampai di Stasiun Bayu Angga Probolinggo. Dari stasiun ini kami tinggal menempuh satu jalur lagi yang langsung menuju ke Desa Cemoro Lawang (spot ini paling dekat dengan pintu masuk ke Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru). Yang menari disini adalah hanya terdapat dua pilihan untuk menuju Cemoro Lawang yakni menguunakan jasa ojek atau angkutan sejenis elf yang oleh orang setempat disebut ‘Bison”. Perjalanan ke Cemoro Lawang sendiri melalui jalur yang lumayan menanjak selepas dari gerbang keluar Kota Probolinggo, dan hanya memerlukan waktu tempuh sekitar satu jam, tetapi … waktu tunggu sampai armada Bison ini berangkat sangat tidak predictable #if you are lucky, you might only need about one hour of waiting, if it not … it will take forever #latihan sabar saja yah *grin*.

Begini ini nih bentuk Bison


Sampai di Cemoro Lawang sekitar pukul 11.20 WIB dan kami langsung merangsek ke homestay yang telah kami pesan seminggu sebelumnya, at first there were nothing special at all about that place but freezing temperature and warm smile of the locals. IMHO saja nih, mungkin karena saya pernah menyempatkan diri mengunjungi Kawasan Dieng dua tahu lalu, maka secara geografis saya tidak terlalu impressed dengan rute menuju Desa Cemoro Lawang ini, it just usual farming highland landscapes and panoramas when it compare to Dieng Highland #tapi ini bukan berarti enggak yang WOW dengan Bromo looh. Makan siang di warung dekat homestay dan kemudian rebahan beberapa jam cukup untuk sekedar menghilangkan jetlag perjalanan semalem #eh trainleg dink#emang ada ya trainleg…#anggep saja ada.

Penginapan Wisma Yog ini tepat didepan area drooping pendatang, langsung loncat, masuk kamar.


Selepas ashar saya iseng-iseng melata-lata dikebun belakang homestay kami, and you know what, the WOW moments were started ever since. Beberapa langkah dari kebun dibelakang homestay kami itu ternyata jurang maha dahsyat yang memisahkan saya dengan Gunung Bromo dan Batok secara langsung #berlebayan. Yaps … hanya perlu selemparan pandang, mata saya tak lelah lekat memandang dua gunung tersebut #eergh#sounds wrong….!, pun dibelakang  dua gunung yang nyaris kembar (masih berasa #errgh dengan pilihan kata ini) tersebut berdiri agung gunung Semeru dengan Puncak Mahameru-nya yang terkesan seperti puncak Olympus #ada dewa Zeus donk? Enggak, yang ada Sang Hyang Pikulun Jati…, saking excitednya saya waktu itu explorasi berlanjut dengan berjalan kaki menuju Segara Wedi (Lautan Pasir) dan lagi-lagi saya hanya mampu WOW saja dengan ciptaan Tuhan yang #terpampangnyata#bukan_buaian shayyy#tanpa-binjulid ini. Berada di Lautan Pasir mendadak memberikan kesan hebat yang menyetuh relung spiritual secara khusus, ditempat seluas itu senyap dan sepi begitu kudusnya…memang sesekali pengendara motor trail dan pasukan berkuda melintas di kejauhan, namun hal itu tak mampu juga membuyarkan ke khidmatan padang pasir itu. FYI saja, segera tinggalkan lautan pasir ini sebelom hari beranjak gelap jika anda berkunjung dalam rombongan yang kecil (sendirian atau dua orang saja) karena selain sepi, lautan pasir juga habitat kawanan anjing liar … ya anjing liar dan bukan serigala, jadi nggak keren kan kalau anda harus celaka diserang anjing liar bukannya serigala …? #masih sempet ya mikirin gengsi. WOW momen berikutnya adalah landscape malam diatas Cemoro Lawang, salah satu langit malam terindah ya di Bromo itu, coba ya seumpama ada someone to hold in hand or even hugs while watching this wondrous starry night #yakalee#pacarorang_pinjemsebentar#kemudian hening. Bahkan bintang paling redup pun nampak sayu-sayu redup memijarkan sinarnya … subhanallah, udah ah tidur dulu, udah hampir jam delapan #laah kayak anak perawan ajah.

WOW #1
WOW #2
WOW #3


“Mas Brandon (baca BeRENDEN yah, aksen British emang gitu bunyinya) ….bangun mas sudah jam tiga monggo segera bergegas ke Pananjakan Satu” terdengar suara Pak Sutrisno – driver jeep kami yang baik hati dan tidak ngemplang tariff kayak calo-calo di Probolinggo kemarin – sembari mengetuk-ngetuk pintu penginapan. Ah benar itu suara pak Sutrisno, tapi mengapa nama saya jadi Brandon … ah sudahlah ini pasti bius dari efek jigong saya yang keluar karena terlelap sedari jam Sembilan tadi #hoeex. Dan demikianlah, menembus malam yang pekat dan sangat “beeeerghh” sekali dinginnya, kami menggunakan jeep milik Bapak Sutrisno menuju ke puncak Pananjakan Satu untuk melihat terbitnya matahari pagi dari peraduan malam. Dan saat matahari benar-benar terbit, sekali lagi WOW momen terjadi … for me, no words can even described it. Jadilah sepagian itu kami berkelana dari puncak Pananjakan Satu ke kawah Bromo, cukup epic dengan medan lautan pasir beberapa kali roda mobil sempat terseok dan itu sudah wajar, no worries yang ada justru mendebarkan. Meski menggunakan jeep bukan berarti kita dapat mencapai kawah secara langsung dan memarkir mobil dibibir kawah #dikata mau liat konser dangdut kaleee, parkir mobil deket-deket. Masih terdapat jarak sekitar satu kilo dari tempat parkir mobil menuju anak tangga terbawah menuju kawah, bagi yang sehat jasmani dan rohani, berjalan kaki di hamparan laut pasir akan memberikan kesan tersendiri, tapi bagi yang tidak kuat bisa menggunakan jasa penyewaan kuda yang banyak ditawarkan. Perjalanan melewati “gurun pasir’ sejatinya sangat menyenangkan kecuali jika lupa bahwa disepanjang jalur pendakian ini banyak berceceran TAI KUDA, ya tai kuda, sungguh mengganggu pemirsah … kadang bau bahkan seringnya keinjek #hyuuuuuh !!.


SUPER WOW: sunrise dari Pananjakan Satu
Segara Wedi yang senyap
Salah satu moda transportasi untuk menjelajahi lautan pasir atau menuju Kawah Bromo
Ooo ... Sang Hyang Pikulun Jati
Menunggu sunrise
Para pemburu sunrise

Moda pilihan pertama untuk menjelajahi kawasan taman nasional
Way up there, the crater
Ini dia yang dicari-cari
Found another WOW point on the way back from the Pananjakan Peak

Hampir pukul sembilan dan kami memutuskan kembali ke penginapan karena kami berencana untuk turun dari Cemoro Lawang sebelum pukul 13.00 WIB. Kami menggunakan jeda waktu tersebut untuk packing dan mencari cinderamata yang bisa dibawa pulang. Pulang dengan ogah-ogahan dengan meninggalkan masih banyak tempat WOW untuk dikunjungi, sebenarnya rasa penasaran saya belum habis untuk Bromo, masih banyak kejutan dan tempat menarik untuk dikunjungi seperti Padang Savana, Pasir Berbisik dan Ranu Pane and yes, the hospitality of the locals is very impressive.


Down bellow saya tambahkan beberapa foot note tentang serba serbi yang ada baiknya diperhatikan saat memutuskan untuk mengunjungi Bromo.

BIAYA ala-ala #backpackHORE (per Maret 2013):
1.       Tiket kereta Malioboro Express jurusan Solo – Malang Rp. 75.000
2.       Tariff Bus Patas Malang – Probolinggo Rp. 23.000
3.       Tariff Bison (pulang-pergi) Rp.50.000
4.       Penginapan Wisma Yog (satu kamar bisa diisi 3 orang) Rp.150.000/3 = @ Rp.50.000
5.       Tiket masuk kawasan taman nasional Rp.7.000
6.       Sewa jeep (Rp. 450.000) dibagi berlima @ Rp.   90.000
7.       Bus PATAS Probolinggo – Surabaya Rp.15.000
8.       Bus PATAS Surabaya – Solo Rp. 58.000
TOTAL: Rp. 393.000 untuk tiga hari perjalanan

Things you better TO do:
1.       Carilah akomodasi (penginapan dan sewa jeep) beberapa waktu sebelum hari keberangkatan.
2.       Pergi dalam rombongan minimal terdiri enam orang lebih baik.
3.       Hindari calo-calo, bahkan sejak di Malang anda sudah bakal “digerayangi” oleh para calo #errrgh#not in literally sih
4.       Persiapkan pakaian hangat yang tepat, terutama jika anda berniat menyaksikan sunrise dari Puncak Pananjakan, additional outfits yang sebaiknya digunakan adalah sepatu, syal, kaus tangan dan penutup kepala.
5.       Waspada dengan sunburn, tau-tau sekembalinya ke Probolinggo baru terasa kulit yang perih bekas terbakar matahari, biasanya kulit daerah  tengkuk, muka atau tangan. So be kind to your body.
6.       Perhatikan waktu kunjung anda, weekend dan bukan weekend mempengaruhi tariff sewa jeep dan penginapan.

Things you better NOT TO do:
1.       Kontra dari things TO do diatas #ya eyalah, nenek-nenek pulang dugem juga ngerti !
2.       Jika berniat camping di area Taman Nasional ini, saat tidur tautkan tali sepatu dengan teman se-tenda, karena local urban legend mengatakan, anda akan dibuang keluar tenda oleh “hollows” setempat.
3.       Jangan kesana dengan membawa kabur pacar orang, atau berkunjung dengan selingkuhan, pokoknya jangan #random_mampus

Comments